FALSAFAH JAWA PAK HARTO AKAN HAKIKAT HIDUP
Memahamai Falsafah Hidup Pak Harto [1]
—Hakekat Hidup—
Oleh:
Abdul
Rohman
“Yen
Arep Weruh Trahing Ngaluhur, Titiken Alusing Tingkah-Laku Budi Basane”[2]
(Untuk
Mengenali Seseorang Memiliki Tradisi Berbudi Luhur / Orang-Orang Besar,
Perhatikanlah Kehalusan Tingkah Laku, Budi Pekerti dan Bahasanya)
Nasehat
bahasa Jawa itu dapat kita jadikan jawaban atas pertanyaan sebagian orang
tentang keistimewaan apa yang dimiliki Presiden Soeharto sehingga mampu
memimpin Indonesia selama lebih dari 30 tahun. Berdasarkan kriteria itu,
ciri-ciri orang besar dapat dikenali dari kehalusan tingkah lakunya, budi
pekerti dan bahasanya. Melalui kriteria itu dapat dipahami pula bahwa
orang-orang besar adalah orang-orang yang halus —memang benar-benar halus dan
bukan dibuat-buat atau dikesan-kesankan halus— tingkah lakunya, budi pekerti
dan bahasanya.
Orang-orang
besar adalah orang yang —dalam terminologi nasehat Jawa— selalu mengikhtiarkan
dirinya untuk “hanggayuh kasampurnaning hurip, berbudi bowo leksono, ngudi
sejatining becik” (berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mencapai level
kesempurnaan hidup, berjiwa besar dan selalu berusaha mencari kebenaran
sejati). Orang-orang besar adalah orang-orang yang tidak lagi disibukkan agar
dirinya memperoleh tepuk tangan dari khalayak luas atas prestasi-prestasinya.
Mereka merupakan sosok yang telah memahami benar tentang hakekat hidup, hakekat
kehidupan dan hakekat dirinya (mikro kosmos) dalam lingkungan kehidupan (makro
kosmos) serta selalu mengupayakan terwujudnya kebaikan-kebaikan hidup bersama.
Meminjam
istilah almarhum Dr. Nurcholish Madjid, kesempurnaan hidup dan kebenaran sejati
hanya ditemukan melalui upaya mewujudkan kebaikan-kebaikan mutu hidup bersama
(amal sholeh) atas dasar kepasrahan kepada Tuhan, hukum Tuhan dan perjanjian
kontraktual antar sesamanya yang tidak melanggar jiwa hukum Tuhan. Nasehat
ajaran Jawa diyakini banyak kalangan sebagai pembahasaan ulang dan elaborasi
hukum-hukum Tuhan sebagaimana diajarkan kitab-kitab suci. Para Wali Songo
—khususnya Sunan Kalijogo– dianggap memiliki kontribusi besar dalam
membahasakan ulang ajaran-ajaran Kitab Suci itu kedalam pitutur-pitutur
(nasehat) berbahasa Jawa.
Pak
Harto merupakan tipikal orang Jawa tulen. Untuk menguak sosok jati dirinya
harus memahami filosofi ajaran Jawa yang dipedomani. Sebagai panduan dalam
memahami cara pandang hidupnya, dapat kita ketemukan melalui buku berjudul “Butir-Butir
Budaya Jawa: Hangayuh Kasampurnaning Hurip, Berbudi Bawaleksana, Ngudi
Sejatining Becik” yang disunting oleh Siti Hardiyanti Rukmana dan diterbitkan
oleh Yayasan Purna Bakti Pertiwi pada tahun 1997. Buku tersebut merupakan
kumpulan nasehat ajaran bahasa Jawa yang disampaikan Pak Harto kepada
putra-putrinya. Melalui pandangan-pandanganya itu kita dapat menelusuri
bagaimana ia memandang Indonesia, dalam konteks kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.
Hakekat
Hidup
Jati
diri Pak Harto dibentuk melalui pergumulan dan tempaan hidup dalam iklim
sosio-kultural masyarakat pertanian pedesaan Jawa. Budaya pertanian merupakan
cerminan budaya kecermatan, ketaatan pada rule of life (aturan
kehidupan), kejujuran, kerja keras, inovatif, toleran dan keguyupan. Seorang
petani harus cermat dalam mengelola usahanya agar memperoleh panen yang bagus
dan tidak dirundung kekurangan pangan pada masa paceklik. Seorang petani juga
harus taat pada aturan siklus musim agar tidak gagal panen. Mereka juga harus
jujur, karena mengurangi sedikit saja perlakuan yang mesti diberi kepada
tanamannya (misalnya mengurangi/ mengkorupsi pupuk) akan berdampak pada
pengurangan hasil. Kerja keras merupakan modal utama bagi seorang petani, agar
tahapan-tahapan pekerjaanya tepat musim dan bebas dari gangguan hama (mulai
menanam, memupuk, menyiangi, menjaga dari ancaman hama, memanen dan mengelola
hasil panen).
Budaya
pertanian juga lekat dengan semangat keguyupan atau saling membantu antara satu
sama lain dalam mengolah usaha pertanian maupun dalam mengahapi masa-masa
sulit. Sorang petani juga dituntut inovatif memaksimalkan lahan yang
dimilikinya agar memperoleh hasil maksimal. Begitu pula dalam hal toleransi
mutlak diperlukan dalam masyarakat ini. Bertindak semaunya sendiri tanpa
memperhatikan kepentingan dan kebutuhan lingkungan sekitar akan merusak harmoni
seluruh lingkungannya. Sebagai contoh riil adalah pengaturan pergiliran pembagian
air untuk kebutuhan sawah, apabila tidak saling toleran, maka percekcokan antar
petani tidak bisa dihindarkan.
Masyarakat
pertanian juga dikenal sangat religious. Hal itu dicerminkan dengan
banyaknya ritual-ritual permohonan do’a untuk capaian hasil usaha tani yang
bagus. Ritual-ritual itu merupakan cerminan pengakuan dan penyandaran hasil
kerja kerasnya pada kepastian takdir penguasa tertingi, Tuhan Yang Maha Esa.
Pak
Harto banyak menghabiskan masa kanak-kanaknya di Kemusuk (Yogyakarta) dan Wonogiri,
suatu zona kultural masyarakat pertanian yang ciri-cirinya di sebutkan diatas.
Merupakan kewajaran ketika pada akhirnya ditakdirkan memimpin Indonesia, Pak
Harto tumbuh sebagai sosok pemimpin berkarakter, cermat, teguh dalam mentaati rule
(aturan) atau constitusionalize, kerja keras, inovatif dan
menekankan pada toleransi maupun keguyupan masyarakat. Ia merupakan sosok
pemimpin yang tidak banyak mengumbar kata-kata. Semua persoalan dicermati
secara mendalam untuk kemudian dilaksanakan dengan penuh keyakinan dan kerja
keras. Sifat-sifat itu bukannya dibentuk secara instan melalui pendidikan
singkat olah kepribadian, sebagaimana kaderisasi kepemimpinan moderen.
Sifat-sifat itu melekat secara inheren sebagai buah tempaan hidup yang dijalani
semasa kanak-kanak dan remaja.
Selain
atmosphere sosio-kultural pertanian, Pak Harto juga ditempa dalam iklim
religiusitas kejawaan melalui perinteraksiannya dengan guru-guru spiritual
Jawa. Sebagaimana disinggung dimuka, ajaran spiritualitas Jawa tidak lain
merupakan elaborasi ajaran-ajaran kitab suci untuk dibumikan sebagai pranata
kehidupan masyarakat Jawa. Pajang-Demak-Mataram merupakan pusat-pusat peradaban
Jawa (Nusantara) pasca runtuhnya Majapahit. Kemusuk (Yogya)-Wonogiri merupakan
zona penyangga peradaban itu dimana didalamnya tersebar guru-guru spiritual
Jawa yang dengan tekun mentransformasikan ajaran-ajaran itu kepada masyarakat.
Para guru spiritual Jawa pada umumnya masih memiliki darah keturunan keluarga
kerajaan yang memilih altar pengabdian diluar istana. Sebagai contoh adalah
daerah Ponorogo (kota sebelah timur Wonogiri), pada era KH. Hasan Besari
pesantrennya merupakan Universitas bagi kalangan bangsawan Kraton Solo.
Salah
satu guru spiritual yang sempat disebut Pak Harto –dalam buku Soaharto:
Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya yang diterbitkan PT Citra Kharisma Bunda
Tahun 1989— adalah Kyai Daryatmo. Mencermati penuturan dalam buku tersebut,
sosok Kyai Daryatmo merupakan sosok kyai sufistik yang tidak hanya memiliki
penguasaan ilmu agama sangat luas, akan tetapi juga merupakan seorang tabib
(menguasai ilmu pengobatan) dan psikolog sekaligus guru masyarakat. Tipikal
Kyai Sufistik tersebut masih banyak dijumpai di pelosok-pelosok pedalaman Jawa
hingga saat ini. Sosok Kyai Sufistik pada umumnya kalah populer jika
dibandingkan dengan Kyai Dakwah. Ia tidak melekati dirinya dengan gelar-gelar
sosial keagamaan dan keberadaanya cenderung membaur dengan masyarakat
kebanyakan. Namun demikian peranan Kyai Sufistik acapkali lebih besar, lebih
luas dan bahkan menjadi rujukan bagi Kyai-Kyai yang lain dalam memecahkan
persoalan kemasyarakatan. Melihat realitas sosio-kultural kawasan tersebut, Pak
Harto memahami hakekat hidup dan kehidupan melalui tempaan spiritual para Kyai
Sufistik. Kumpulan ajaran Jawa dalam buku “Butir-Butir Budaya Jawa:
Hanggayuh Kasampurnaning Hurip, Berbudi Bawaleksana, Ngudi Sejatining Becik” dapat
diduga kuat merupakan nasehat yang diperoleh dari para guru sipiritualnya dan
bukan dari para tokoh mistis yang berorientasi pada kesaktian ragawi sebagaimana
disalahpahami sebagian orang selama ini.
Hakekat
hidup dalam ajaran Jawa adalah “hanggayuh kasampurnaning urip, berbudi bowo
leksono, ngudi sejatining becik”. Dalam perspektif Jawa, esensi hidup itu
adalah pencapaian kesempurnaan hidup dalam kerangka penyandaran diri terhadap
Dzat Maha Hidup beserta hukum-hukumnya. Sebagaimana ajaran agama Islam, nasehat
ajaran Jawa menekankan aspek transendesi kepada Tuhan sebagai pangkal tolak
kehidupan. “Urip iku saka Pangeran, bali marang Pangeran” (hidup itu
berasal dari Tuhan dan akan kembali pada Tuhan)[3]. “Pangeran iku siji, ana ing ngendi papan,
langgeng, sing nganaake jagad iki saisine, dadi sesembahane wo sa alam kabeh,
nganggo carane dewe-dewe” (Tuhan itu satu, ada dimana-mana, abadi, pencipta
alam se-isinya, dan menjadi sesembahan manusia sejagad raya, dengan memakai
tata caranya masing-masing)[4].
Kehidupan
manusia berada dalam lingkaran kepastian hukum Tuhan sebagaimana inti pitutur “manungso
sadermo nglakoni, kadyo wayang umpamane” (manusia hanya sekedar menjalani,
ibarat wayang tergantung pada otoritas dalang)[5]. “Owah gingsire kahanan iku saka karsaning
Pengeran Kang Murbeng Jagad. Ora ana kasekten sing madhani papesthen, awit
papesthen iku wis ora ana sing bisa murungke” (Perubahan keadaan itu
kehendak Tuhan. Tiada kesaktian yang menyamai kepastian Tuhan, karena tiada
yang dapat menggagalkan kepastian Tuhan)[6]. Meyakini Kepastian Tuhan bukan berarti
bersikap fatalistis (pasif dan tidak mau bekerja keras). “Pasrah marang
Pangeran iku ora atages ora gelem nyambut gawe, nanging percaya yen Pangeran
iku Maha Kuasa. Dene hasil orane apa kang kita tuju kuwi saka kersaning
Pangeran” (Sikap pasrah kepada Tuhan bukan berarti tidak mau bekerja,
melainkan percaya bahwa Tuhan itu Maha Kuasa. Berhasil tidaknya apa yang kita
lakukan merupakan otoritas Tuhan).
Kesempurnaan
hidup hanya akan dicapai melalui perilaku baik. “Panggawe ala lan panggawe
becik iku tut wuri lan tuduh dalan nganti delahan. Mula wong iku mumpung urip
ngudia kabecikan, supaya dadi sarana bisane oleh swarga” (Perbuatan buruk
dan baik itu mengikutimu dan menunjukkan jalan sampai ajal. Oleh karena itu
selagi masih hidup, jalankan perbuatan yang baik, agar memperoleh sarana
memperoleh tempat di surga)[7]. Seseorang yang ingin menggapai kesempurnaan
hidup harus pandai-pandai mengendalikan diri. “Wong becik ora keno
mangan daging kang ora suci, kudu nyirik sembarang kang dadi regeding awak
utawa cedhaking satru lahir bathin” (Orang baik tidak boleh makan daging
yang tidak suci, harus pantang terhadap apa saja yang menjadikan badan kotor
atau segala sesuatu yang mendekatkan/ menyebabkan ketidakjernihan lahir maupun
bathin, termasuk makan dari yang bukan haknya, misalnya harta hasil korupsi).
Agar mampu mengendalikan diri, seseorang seyogyanya tidak melupakan
ajaran-ajaran kebaikan. “Aja lali marang ngelmu kang karya tentreming ati,
jalaran kuwi kang bisa gawe mulyanira lahir batin” (jangan lupa terhadap
pengetahuan yang dapat menenteramkan hati, sebab yang demikian itu membuat
tenteram lahir-batin)[8].
Perilaku
baik dalam rangka pencapaian kesempurnaan hidup dimanifetasikan melalui
keiklahasan berkarya untuk memajukan kesejahteraan bersama. “Rame ing gawe
sepi ing pamrih, memayu hayuning bawana” (banyak berkarya, tanpa menuntut
balas jasa, untuk menyelamatkan kesejahteraan manusia)[9]. Segala tindakan dalam kehidupan tidak boleh
dilakukan sekedar asal-asalan atau untuk main-main. “Tumindak kanthi duga
lan prayoga” (segala tindakan harus disertai tata krama dan pertimbangan
yang baik). Keberanian berbuat kebaikan dengan tata krama yang baik akan lebih
bernilai jika dibandingkan dengan memiliki pengetahuan luas tentang kebaikan
akan tetapi tidak menjalaninya. “Balilu tan pinter durung nglakoni”
(berani melakukan suatu kebaikan lebih baik dari pada sekedar menguasai
dalil-dalilnya)[10].
Perbuatan
baik dalam kerangka kepasrahan kepada Tuhan harus menjadi barometer dalam
menjalani hidup agar kehidupannya dapat mencapai level kesempurnaan hidup.
Ajaran Jawa menekankan adanya implikasi langsung terhadap semua tindak-tanduk
yang dijalani seseorang. “Samubarang ngunduh wohing pakerti” (segala
tindakan akan menuai hasil sesuai jalan yang dipilihnya)[11]. “Sing sapa seneng gawe nelangsane liyan,
iku ing tembe bakal kena piwalese saka penggaweane dewe” (barang siapa
melakukan perbuatan yang menyebabkan kesengsaraan orang lain, akhirnya nanti ia
akan mendapat pembalasan dari perbuatannya sendiri)[12]. Jalan kebaikan akan mengantarkan pada kesempurnaan
hidup, sedangkan jalan keburukan akan menghalanginya. Wujud kesempurnaan hidup
adalah ketenteraman jiwanya semasa hidup di dunia maupun sesudah meninggal
dunia. Perilaku jahat yang dilakukan seseorang —baik dilakukan secara
terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi— diyakini akan menyandera pelakunya
sendiri dalam meraih kesempurnan hidup (ketenteraman jiwa). Motivasi untuk
tidak melakukan tindak kejahatan bukan karena ketakutan pada institusi atau
kekuatan tertentu —misalnya penegak hukum— akan tetapi oleh kemerdekaan jiwa
yang harus diraihnya dalam proses kehidupan.
Ajaran
Jawa juga menekankan pada ketentraman bersama. “Urip rukun, aja gawe pati
lan larane liyan” (hidup rukun dan jangan melakukan tindakan yang
menyebabkan penderitaan dan matinya orang lain). “Tentrem iku saranane urip
aneng donya” (ketentraman hidup merupakan sarana dalam menjalani kehidupan
dunia)[13]. Namun demikian penggunaan
kekerasan untuk melawan penjahat —bahkan terhadap saudaranya sendiri/ sebangsa—
dapat dibenarkan. “Perang kalawan sadulur iku ora becik, mula aja seneng
perang kalawan sadulur” (perang dengan saudara itu tidak baik, oleh karena
itu jangan suka perang antar saudara). “Perang kalawan sedulur iku becik,
lamun ana sedulur kang digunakake mungsuh kanggo ngrusak negarane dhewe”
(perang saudara itu baru diperbolehkan ketika ada saudara sebangsa yang
dimanfaatkan musuh untuk merusak negaranya sendiri).[14]
Pembenaran
berperang terhadap penjahat (walaupun terhadap saudara sebangsa) disebabkan
karena penjahat merupakan virus destruktif bagi terwujudnya ketenteraman
bersama. “Klabang iku wisane ana ing sirah, kalajengking iku wisane mung ana
pucuk buntut. Yen ula mung dumunung ana ula kang duwe wisa. Nanging yen durjana
wisane dumunung ana ing sekujur badane” (Racun klabang/ binatang kaki
seribu ada di kepala. Racun Kalajengking hanya di pucuk ekor. Racun ular hanya
ada pada ular yang berbisa. Sedang penjahat racunnya terletak pada seluruh
badannya)[15].
Filosofi
ajaran Jawa tentang hakekat hidup yang diperoleh dari para guru spiritual dan
orang-orang yang dituakan itu tidak mustahil banyak mencoraki cara pandang
Presiden Soeharto dalam memimpin Indonesia. Hal itu tampak dari fokus program
kepemimpinannya ketika diangkat sebagai Presiden Republik Indonesia. Ia
menekankan pembangunan sebagai sarana mengantarkan rakyat Indonesia mencapai
level kesejahteraan dan kesempurnaan hidup. Pengganggu ketertiban maupun
ketenteraman bersama ditekan sedemikian rupa hingga titik minimal. Kreatifitas
segenap warga didorong untuk mengisi pembangunan mulai dari pusat hingga
daerah. Pancasila sebagai jati diri bangsa —yang digali dan diformulasikan oleh
para pendahulunya/ era Bung Karno— ditanamkan sedemikian rupa untuk membekali
rakyat agar tidak kehilangan orientasi kebangsaannya.
Presiden
Soeharto sadar betul bawa terdapat perbedaan orientasi dan konsepsi hakekat
hidup antara yang dipedomani orang-orang barat dengan orang-orang Nusantara.
Orang-orang barat memahami hakekat hidup dalam level kawicaksanan
(strategi untuk meraih capaian-capaian prestasi positif berdasarkan ukuran
rasio tanpa menekankan aspek transendesi). Sedangkan peradaban Nusantara
menekankan secara kuat pada aspek transendensi sebagai pusara harmoni seluruh buana
(alam raya).
Penanaman
jati diri bangsa secara terus menerus pada semua level (melalui
penataran-penataran P4) mengindikasikan bahwa Presiden Soeharto tidak hanya ingin
mendorong pada keberhasilan pembangunan bangsa Indonesia dalam aspek fisik
saja. Lebih jauh dari itu ia juga hendak mewujudkan pembangunan jiwa bangsa dan
seluruh rakyat Indonesia agar benar-benar mampu mencapai kesempurnaan hidup,
baik secara fisik maupun spiritual. Semangat itu —selain dibentuk oleh cara
pandang hidupnya— juga sejalan dengan cita-cita para pendahulu bangsa yang
hendak membangun Indonesia pada aspek jiwa maupun raganya.
Penegasan
komitmen pembangunan manusia Indonesia seutuhnya —yang dicita-citakan pendiri
bangsa— tercermin dari bait lagu kebangsaan Indonesia raya yang menyerukan
untuk membangun jiwa dan raga bangsa Indonesia. Pembangunan jiwa bangsa
Indonesia meliputi aspek mental-spiritual termasuk di dalamnya pembangunan
aspek-aspek sosial-budaya dan hukum. Sedangkan pembangunan raga bangsa
Indonesia meliputi pembangunan infrastruktur-infrastruktur fisik yang
diorientasikan untuk mendukung terwujudnya kesejahteraan dan kemakmuran seluruh
rakyat.
Demikian
pula dengan sikap tegasnya terhadap segala bentuk potensi kekerasan yang muncul
di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Sikap tegas itu dituding sejumlah
kalangan sebagai bentuk kebijakan otoriter dan pelanggaran HAM. Terhadap
tudingan itu Presiden Soeharto berargumentasi bahwa sikap tegas diperlukan
untuk menyelamatkan Hak Asasi Manusia rakyat Indonesia dalam memperoleh
lingkungan hidup yang damai dan terbebas dari dampak perilaku jahat sebagian
orang. Memberikan kebebasan kepada sejumlah orang jahat sama artinya dengan
mencederai HAM sejumlah besar masyarakat lainnya. Sebagai contoh adalah
keberaniannya dalam memberantas pelaku kejahatan melalui operasi-operasi
khusus. Para pencuri, perampok maupun kelompok-kelompok preman dibuat miris dan
stabilitas dalam masyarakat tidak terganggu. Pada akhirnya kehidupan masyarakat
bergerak dengan berlomba-lomba menorehkan prestasi positif masing-masing dalam
kerangka pembangunan nasional.
***
[1] Disarikan dari
Buku “Politik Kenusantaraan”
[2] Butir-Butir Budaya Jawa:
Hanggayuh Kasampurnaning Hurip, Berbudi Bawaleksana, Ngudi Sejatining Becik,
(Jakarta: Yayasan Purna Bakti Pertiwi, 1996), hlm 62.
[3] Ibid, hlm 4.
[4] Ibid, hlm 32.
[5] Ibid, hlm 32.
[6] Ibid, hlm 9.
[7] Ibid, hlm 70.
[8] Ibid, hlm 176.
[9] Ibid, hlm 32.
[10] Ibid, hlm 46.
[11] Ibid, hlm 34
[12] Ibid, hlm 102
[13] Ibid, hlm 36
[14] Ibid, hlm 98
[15] Ibid, hlm 36
Sumber: http://soeharto.co/mehamai-filsafat-hidup-pak-harto



Tidak ada komentar: